Memory Daun Pisang
Terucap kata
dari laki-laki itu.
“Dek, seandainya
ada laki-laki yang ingin serius denganmu, bagaimana jawabmu?”
Aku tertunduk.
Diam seribu bahasa, tak mampu menjawab pertanyaannya. Ah, bukan. Bisa saja kujawab
mau. Ya, aku mau. Aku mau dengannya. Dengan laki-laki di hadapanku. Namun hanya
kuucap dalam hati. Tapi aku tidak ingin menjawabnya. Tidak terhadap laki-laki
ini. Yang maksud pertanyaannya saja pun aku tak tahu. Dan aku tidak punya
kekuatan untuk mencari tahu. Mengingat kembali hari-hari kemarin yang kulalui
bersamanya. Serasa dadaku sesak. Mendadak perutku mual. Ya Robb, kuatkan
hatiku. Jangan sampai air mata ini jatuh.
“Dek…. Kok
diam?”
Aku mengangkat
wajah, kulirik dirinya sekilas. Dia masih memandangku. Kacamatanya masih bertengger
angkuh. Senyum simpulnya menyiratkan kekuatan hatinya. Aku tahu betapa keras
hati lelaki ini. Tapi betulkah sekeras itu?
Aku kembali
tertunduk, diam. Aku tidak ingin berkata apa-apa.
“Dek….” Lanjut
laki-laki itu. ”Hidup ini terlalu berharga untuk disia-siakan. Makanya, kamu
kuliah yang betul ya. Kalau bisa IPK-nya di atas 3 dong, biar bangga orang
tua.” Kuhela nafasku. Berani sekali dia. Memangnya siapa dia mengatur-atur
hidupku. Hatiku penasaran menunggu kelanjutan kata-katanya.
“Kalau ada yang
mau serius denganmu…ya terima aja, Dek. Apalagi laki-laki yang sholeh. Apalagi
yang kamu cari?”
Aku terkesiap.
Apa maksudnya?
Siapa yang dia maksud?
Kutatap sejenak
wajahnya yang tersembunyi di balik kacamata. Hatiku seketika lemas. Galau.
Entah apa yang harus kukatakan. Mungkin lebih baik diam. Kutundukkan kepalaku.
“Aku sendiri……….”
Lanjutnya, menggantung. Diam sejenak.” pengennya sih dapat calon istri dokter…”
Deg!! Aku bukan dokter. “Atau dosenlah minimal…..” Beda lagi. Tapi tetap, aku
bukan dosen, batinku. Aku hanya mahasiswi, calon guru. Itupun masih calon. Aku masih
tepekur…tidak berani menimpali kata-katanya.
“Kalau memang
gak ada dokter atau dosen, guru juga gak apa-apa….”
Ooh… ternyata
ada harapan. Hatiku bersorak. Ya, ada harapan bagiku. Walaupun hatiku tetap
miris, itu harapan terakhir dari sang lelaki. Pilihan terakhir. Biarlah, yang
penting harapan itu masih ada.
“Dek…….”
“Ya?” Entah
mendapat kekuatan darimana dia menyahut, walaupun lirih.
“Besok malam kamu ikut aku ya?”
“Kemana? Ngapain, mas?”
“Kemana? Ngapain, mas?”
“Diklat sudah
berakhir, besok ada acara perpisahan di hotel Mulia”
“Kenapa aku
harus hadir?” Hatinya menepis dugaan. Ah, mungkin bukan seperti yang
kupikirkan.
“Yaaaa…ndak
apa-apa tho. Kan yang lain juga boleh bawa istri atau teman”
Lalu aku? Aku
apamu, mas? Istri bukan. Teman? Kenapa teman harus mendampingi di acara itu?
Hampir saja pertanyaan-pertanyaan itu terlontar dari mulutku. Aku menahan
diriku sekuat tenaga.
“Hm, lebih baik
gak usah ya, mas” aku mengelak.
“Lho? Kenapa?
Kamu besok sibuk ya, Dek?”
“Gak, mas. Aku
malu aja. Lebih baik gak usahlah”
“Kenapa harus
malu? Beneran gak apa-apa kok. Toh disana temen-temenku semua”
“Gak…. Aku gak
terbiasa keluar malam-malam, mas. Apalagi di hotel” aku sibuk mencari-cari
alasan.
“Lho… tapi kan
di hotel juga ada acara. Yo wislah…kalo kamu ndak mau….”
Dua hari
berlalu. Hari-hari kujalani seperti biasa. Kuliah dan mengajar les private
menjadi rutinitasku. Meski harus pulang agak malam, lelah dan kantuk melanda,
tapi tidak membuatku bosan. Semakin bersemangat malah.
Pagi itu.
Laki-laki itu sudah berada di hadapannya.
“Dek….”
“Ya, mas”
“Aku mau pamit.”
“Sudah selesai
ya?”
“Iya,” jawab
laki-laki itu pendek. Dibukanya kacamatanya, diusap-usap dengan pangkal lengan
baju, dipakainya lagi. Dia tampak menarik. Ups…tak boleh aku lanjutkan pikiranku.
“Pulang kemana,
mas?”
“Ke Cilegon
dulu, baru nanti ke Malang,” jawabnya,”Kamu kapan pulang?”
“Belum ada
rencana,” sahutku pendek, lalu diam. Tak tahu lagi aku harus berucap apa.
Menghadapi laki-laki ini sungguh sulit. Dia dekat, tapi hatinya entah dimana.
Dia hangat, tapi arogansinya masih mendominasi. Aku hanya bisa mengikuti
langkahnya tertatih-tatih. Semua itu kulakukan karena… ya, karena aku
menyukainya. Entah dia sadari atau tidak. Entah akal sehatku mengakui atau
tidak, tapi hatiku bicara…aku suka semua yang ada padanya. Rasa ini begitu
menyiksa. Dia begitu tidak terjangkau. Dan aku tidak ingin mencoba mengukur
hatinya. Biarlah…..
“Ya sudah..
nanti aku main ke rumahmu, ya?” Yes! Hatinya bersorak. Akhirnya dia menunjukkan
kemajuan. Orangtuanya pasti akan bertanya-tanya tentang laki-laki ini. Biar
saja. Itu urusan nanti. Girang hatinya membayangkan kedatangan laki-laki ini.
Laki-laki itu
memandangnya sekilas, lalu berpaling ke halaman rumah.
“Aku kecewa
kemarin malam kamu gak mau datang ke pesta”
O ya? Aku
tersenyum dalam hati. Aku senang dia kecewa.
“Maaf, mas. Aku
gak terbiasa dengan pesta-pesta.”
“Semua
teman-temanku datang dengan pasangan mereka.”
Tapi aku bukan
pasanganmu! Teriak batinku. Tidak ada komitmen apapun antara kita yang
membuatku berani melangkah. Tidak ada kata-kata apapun dari mulut laki-laki itu
yang tidak membuatku yakin siapa diriku baginya.
Aku hanya bisa
tersenyum.
Sebulan
kemudian.
Laki-laki itu
duduk dengan takzim. Ibu dan ayah menemaninya ngobrol di ruang tamu. Ia datang
pagi tadi, langsung dari Malang, dan sedianya akan melanjutkan perjalanan ke
Jakarta dari sini. Tak sulit bagi laki-laki itu untuk menjalin keakraban dengan
ayah dan ibu, terutama ayah. Nampak sekali ayah antusias menanggapi cerita-ceritanya.
Entah dia cerita apa saja. Sesekali tawa ayah membahana. Pintar sekali dia
mengambil hati ayah. Sesaat kubiarkan mereka, sampai akhirnya ibu memintaku
menyiapkan sarapan.
Nasi goreng yang
kumasak tadi pagi sudah tersaji di meja. Ibu menyuruh laki-laki itu sarapan.
Karena semua sudah makan, akulah yang harus menemaninya. Kulihat dia makan
dengan sangat lahap, tanpa kata-kata. Lapar sekali rupanya.
“Dek, enak nih
nasi gorengnya” kata laki-laki itu, berkejaran dengan suapannya.“Cuaca disini
panas sekali ya? Beda dengan di Malang,”. Jelas dong. Malang kan dataran
tinggi. Gimana sih.
“Coba kalau ada
jus alpukat. Suka banget tuh. Seger kayaknya.” Wah, banyak permintaan juga nih
orang. Kuingat di kulkas masih ada alpukat matang. Ya apa salahnya aku buatkan
untuk dia.
“Mas mau?”
tanyaku.
“Emang ada?”
“Tunggu”
Sebentar
kemudian terhidangklah segelas jus alpukat. Entah bagaimana rasanya, aku tak
peduli. Yang pasti isi gelasnya langsung tandas. Entah karena dia teramat haus,
atau karena memang jusnya yang enak. Entahlah. Aku tak berani bertanya.
Sejam kemudian,
ibu menyuruh laki-laki itu beristirahat di kamar depan, kamar adikku yang tidak
ditempati. Kubiarkan dia. Satu-dua jam kurasa cukuplah untukknya melepas lelah.
Sampai akhirnya dia pamit. Kuantar dia ke jalan raya, ketemani dia menanti bus
yang akan membawanya ke Jakarta.
“Aku takut
kemalaman,” wah, masa takut. Badannya besar begitu kok.
“Kenapa takut?”
tanyaku, sembari mengamati pedagang asongan yang lalu lalang di tepi jalan. Ada
tempat duduk di halte kecil, tapi penuh. Terpaksa kami berdiri.
“Di terminal
banyak premannya.”
“Yaa..kenapa gak
bawa clurit aja kalau takut preman?”
“Aahh, kamu
ngeledek aku ya?”
“Gak.”
“Mana pernah aku
bawa clurit. Merokok saja aku tak pernah.” Memang aku tak pernah melihatnya
merokok, sekalipun. “Nih…lihat. Rokoknya masih utuh kan?” Dikeluarkan sebungkus
mild dari sakunya.
“Ngapain
bawa-bawa rokok?” protesku, sambil merebut rokok itu dari tangannya.
“Buat jaga-jaga
aja kok… aku gak ngerokok, beneran. Eeeehh…mau diapain tuh rokok?”
“Dibuang!”
sahutku sambil melemparkan rokoknya ke kolam kecil di belakang halte.
“Eeh… sadis
kamu!”
“Biarin”
Tak berapa lama
sebuah bus AC jurusan Jakarta muncul. Dia pun berlalu meninggalkanku.
***
Lama tak
kudengar kabarnya.
Malam itu,
hatiku diliputi kerinduan padanya. Aku rindu sapanya. Aku rindu kalimat-kalimat
narsis dan arogannya. Aku rindu kacamatanya. Aku rindu semua yang ada padanya.
Aku melangkah
menuju boks telepon kartu. Kumasukan kartu magnetik yang kupunya. Lumayan,
pulsanya masih tersisa untuk ngobrol dengannya barang beberapa menit, pikirku.
Kupijit nomor teleponnya. Thanks God, dia sendiri yang angkat.
“Assalamualaikum…
“ suara di seberang sana.
“Walaikumsalam….
Apa kabar, mas?”
“Baik Dek…
Suratmu sudah sampai. Maaf belum mas balas.”
“Gak apa-apa.
Maaf saya mengganggu.”
“Oh…ndak… Mas
senang kamu telpon.”
“Suratku
mengganggu ya?” kuingat isi suratku terakhir bercerita tentang pertanyaan ayah
dan ibu, yang tak bisa kujawab langsung, mengenai dirinya.
“Dek… Mas lagi
bingung.”
“Bingung?”
“Iya”
“Iya”
Aku terdiam.
Menunggu.
“Halo…Dek? Masih
disitu?”
“Iya, mas..”
“Dengerin aku, Dek. Aku minta maaf.
Akhir-akhir ini aku lama tak kasih kabar kan? Kamu tahu kenapa? Aku baru pulang
ke rumah orangtuaku. Aku bercerita tentang kamu. Aku katakan kamu adalah
pilihanku. Tapi mereka… orang tuaku, Romo dan Ibu, tidak menyetujuinya, Dek.
Mereka gak mau punya menantu jauh. Aku lari ke kakak-kakakku, berharap dapat
dukungan mereka. Ada satu yang setuju, yang lain menentang. Berhari-hari,
berbulan-bulan Dek…. Aku coba membujuk-bujuk lagi. Tapi teguh keputusan Romo
dan Ibuku. Dek… mohon sampaikan pada Ibumu, aku minta maaf yang
sebesar-besarnya. Aku sudah berusaha… aku tidak bisa menentang orang tuaku.
Sudah 3 bulan ini aku bolak-balik pulang ke rumah, hasilnya…tetap sama…..”
Blaaarr!!
Blaarr!! Tiba-tiba langit disekitarku gelap. Hujan mulai turun rintik-rintik.
Ada 2 orang antri di belakangku, tak kuperhatikan lagi. Mataku berkabut. Panas.
Hatiku berkabung. Lebih panas lagi. Tak sadarkah apa yang dia ucapkan? Tak
terpikirkah olehnya sedikitpun bagaimana hatiku. Lututku bergetar.
Aku ingin
mengucap sepatah kata. Ya Robb, sulit sekali. Sakitnya hati ini lebih kuat.
Yang terdengar dari mulutku hanya isak. Kutahan agak tak bertambah keras.
“Dek… u there?”
Dadaku makin
sesak.
Seorang gadis di
dekatku memandang penuh tanda tanya. Aku tak peduli.
“Dek… Maafkan
aku ya…..”
Kututup gagang
telepon. Kutinggalkan pelataran parkir kampusku. Begitu saja.
Aku benci dia.
Seketika.
Aku ingin
lenyap.
Ingin kubunuh
semua.
Kenanganku
dengannya.
Dan semua luka
yang dia bawa.
Biarlah….biarlah…
Biarlah kutata
hatiku kembali…
Agar aku rela…….
Ibu, maafkan
aku.
Im, 16-06-2010
Comments
Post a Comment
post ur comment here