"Lho...sandalmu ilang, tho?"

Pukul 11.45 wib. Masih ada waktu.
Lumayan buat liat-liat para pedagang yang menjajakan berbagai barang dagangan di pelataran Masjid Agung.
Ada minyak wangi , Al Qur'an, pakaian, sarung, makanan, dan sebagainya. Macam-macam, tumpah ruah, bak pasar kaget. Tak ada niatku untuk membeli, tak ada yang kubutuhkan. Sekedar lihat-lihatlah.

Tak lama adzan berkumandang. Bergegas aku masuk, dan mengambil shaf terdepan. Khutbahpun dimulai. Kudengarkan dengan khusyuk, sebelum akhirnya kami sholat Jumat berjamaah. Selesai sudah. Kusalami jamaah, termasuk Bapak Tua di sebelahku. Aku lupa namanya, yang pasti dia tetangga beberapa puluh meter dari rumahku. Hm.. kusebut saja dia Pak Tua.

Bersalaman sana-sini, ngobrol sana-sini.... makin lama masjid makin lengang. Aku melangkah keluar dan mencari-cari sandal yang tadi kutaruh di teras samping kiri. Lho... mana ya? AKu ingat betul tadi di sini tempatnya kok. Itu...? Ah, bukan. Itu sandal jepit warna merah. Tadi yang kupakai sandal kulit warna coklat tua.Walau sudah lama tapi belum terlalu usang sih..a tengok sana, tengok sini... kuputari masjid... gak ada juga. Wah... wah... ada penggemarnya juga sandalku yaa..

Ya sudahlah. Kalau memang harus hilang... ya kuikhlaskan saja. Mudah-mudahan sandal itu lebih manfaat buat pemakai barunya...hee,.. Ssekarang, saatnya pulang. Perutku sudah keroncongan. Aku menuju tempat parkir sepeda dan berdoa semoga sepedaku gak punya penggemar, hehe..

Tanpa kusadari, rupanya seseorang diam-diam memperhatikan kakiku yang telanjang....

"Lho...mas? Sandalmu ilang, tho?" tegurnya. Oh..ternyata Pak Tua.
"Iya pak.. aku cari kemana-mana ndak ada...." jawabku. Kulihat di kaki keriputnya terpasang dengan manis sepasang sandal yang sangat kukenal, sandal coklat tuaku!! Subhanallah. Aku takjub dengan si Pak Tua ini.

"O ya sudah... hati-hati mas kakinya, banyak beling..." katanya lagi, sambil melangkah pergi.
"Iya pak... terima kasih...." jawabku salah tingkah. Duh..gimana ini? Jelas-jelas itu sandalku yang dia pakai! Tapi aku tak berani menegurnya. Gak tega. Ya sudahlah.

Aku kayuh saja sepedaku cepat-cepat. Selain karena malu tak bersandal, juga perutku sudah bernyanyi.

***

Esoknya... dan esoknya lagi...
Tentu saja aku sudah punya sandal yang baru. Gak mungkin kan kemana-mana aku nyeker? Hehe..
Kucoba ikhlaskan yang sudah lepas.
Mungkin aku sudah melupakan tragedi sandal itu, andai saja.... setiap kali aku lewati rumah Pak Tua tak kulihat sepasang sandalku parkir dengan manis di depan pintu rumahnya.
Hm..ikhlas sih ikhlas... tapi tiap melihatnya... dihatiku ada yang berdesir... hehe


***Losarang, 10 April 2011 ~~~
by Smilingmoon

Comments

Popular posts from this blog

DASAR-DASAR JURNALISTIK (Materi Pelatihan)

Perahu Oleng