20 Ribu (Bag. !)


Ya Robbana…
Hatinya miris… tertegun. Uang di dompet tinggal Rp. 20 rb. Bagaimana ini? Bagaimana ia bisa mengatur sisa uangnya untuk hari ini? Sementara hari baru saja dimulai… duh..pusiiing…
“Sabar…” bisik batinnya. Pasti ada jalan, pasti ada jalan keluar. Di pertengahan bulan gaji suaminya tercinta ternyata tidak bisa menutup kebutuhan hingga akhir bulan. Apa yang bisa dilakukannya kecuali bersabar? Ingin sekali ia mencari kerja dan membantu sang suami mencari nafkah… tapi, bagaimana dengan anak-anaknya? Siapa yang mengurus mereka nanti kalau dia sudah disibukkan dengan urusan mencari harta? Duh….dilema memang. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanya bersabar.
“Bu….” Si Sulung merengkuh lengannya.
“Iya Nak…..?” senyumnya mengembang, tak boleh dia perlihatkan kegundahan di hadapan sang buah hati.
“Bagas pengen makan sama telor…” jagoan ciliknya meminta.
“Iya, ibu buatkan, sebentar ya…..”
Risma menbuka kulkas. Alhamdulillah masih ada 2 buah telor tersisa. Berarti bisa dia buatkan untuk Bagas dan Nita. Untung saja anak-anaknya sangat mengerti kondisi orang tuanya. Membuatkan telor dadar saja masih terasa ringan untuk mereka.
Risma tersenyum puas melihat anak-anaknya makan dengan lahap, walau hanya dengan lauk seadanya. Bergegas dia bereskan semuanya sambil berfikir apa yang akan dia hidangkan untuk suaminya sarapan, berfikir bagaimana cara membagi uang 20 ribunya untuk uang saku anak-anaknya, berfikir apakah sang suami masih punya cukup ongkos untuk bekerja, berfikir makanan apa yang akan dia hidangkan untuk siang hari nanti, dan apa pula untuk sore hari. Otaknya benar-benar diajak bekerja keras.
Dilihatnya sang suami keluar dari kamar mandi. Beruntung juga mas Andi tidak punya kebiasaan merokok dan minum kopi, selain sehat juga bisa berhemat. Maka pagi ini pun Risma tidak perlu repot-repot membuatkan minuman untuk suaminya.
“Bu…. Sarapan apa nih? Nasi uduk? Nasi kuning? Nasi goring?” mas Andi melongok-longok ke meja makan. Risma tersipu, mejanya bersih.
“Nasi goreng ya Yah? Tapi telornya habis….” Risma berharap.
“Gak pa-pa….”
Alhamdulillah…. Dengan tergesa dibuatnya sepiring nasi goreng tanpa telor, tanpa suwir ayam, apalagi seafood, tapi baginya tetap nasi goreng istimewa rasa kasih sayang.
Sesaat kemudian nasi goreng buatan Risma tandas sudah. Mereka pun berpamitan. Bagas dan Nita bersekolah di sekolah yang sama, tinggal menyeberang jalan tak jauh dari rumah. Sedang mas Andi harus naik angkot sekali untuk menuju tempat kerjanya.
“Hmmm…. Mas Andi mungkin masih punya uang, dia gak minta” Risma kembali bersyukur.
“Mas Bagas sama Adek hari ini gak nabung dulu ya, sayang? Ini Ibu kasih uang saku saja… Jangan jajan sembarangan…”
“Iya Bu…” Bagas menjawab pendek.
“Nita juga gak apa-apa, Bu. Kan kemarin udah nabung… tabungan Nita kan udah banyak…” Nita berujar dengan jenaka, sambil memainkan ujung kerudung kecilnya. Risma tersenyum sambil membelai kepala gadis kecilnya.
“Anak Ibu yang pinter…”
Risma membagi, 2 ribu untuk Bagas, seribu untuk Nita. Hatinya menangis. Kembali tak henti-henti mengucap syukur karena anak-anaknya tidak pernah protes walau hanya diberi uang saku sedikit. Mungkin teman-temannya dapat uang saku minimal Rp 10 ribu dari mamanya, namun anak-anaknya tak pernah membandingkan. Hmm… ya Robb… terima kasih atas anugerah terindah-Mu, rizki tak ternilai-Mu, anak-anak yang manis.
Pukul sepuluh, setelah merapikan seisi rumah, Risma beristirahat sebentar. Dia kembali termangu. Mau masak apa ya?
Belum juga dia mendapat jawaban, pintu diketuk dari luar. Risma beranjak, tiba-tiba pintu terkuak dan terdengar salam.
“Eh… Bapak?” Risma gugup melihat ayahnya dating. Risma mendatangi dan mencium tangannya takzim.
“Bapak tumben pagi-pagi……?”
“Iya Ris, Bapak mau nengok nenekmu… katanya kena banjir.  Tapi Bapak laper…. “
“Bapak belum makan?”
“Belum, tadi ibumu belum masak. Kamu ada makanan?” ayahnya langsung menuju dapur.
“Oh…eh… hmm… belum masak juga, Pak. Tapi, sebentar Bapak tunggu ya….” Risma kebingungan. Tak ingin mengecewakan hati ayahnya Risma bergegas menuju rumah makan Padang dekat rumahnya. Hanya itu yang terpikir olehnya. Dia ingin secepat mungkin membelikan makanan untuk ayahnya, dengan sisa uang yang masih di tangannya.
Didapatinya Bapak sedang mengamati tanaman di halaman rumah saat Risma kembali.
“Pak…. Ini makan dulu…” Risma mengangsurkan bungkusan nasi beralaskan piring.
“Ini kamu beli dimana, Ris?”
“Warung depan, Pak. Maaf Risma belum sempat masak.”
“Wah… ini cukup kok. Makasih ya, Ris…” lalu ayahnya makan dengan lahap.
Selang beberapa saat, Risma sudah terlibat percakapan dengan ayahnya seputar keadaan nenek, ibu dan adik-adiknya. Sudah lama juga Risma belum menengok nenek. Wanita renta nan perkasa, di usianya yang mendekati 90 tahun masih bisa hidup mandiri tanpa merepotkan siapapun. Karena itu akhir-akhir ini ayahnya sering mengunjungi nenek, khawatir terjadi apa-apa. Kadang Risma menyesalkan neneknya yang tidak mau diajak tinggal di rumah ayah atau di rumahnya.
“Nenek sehat kan, Pak?”
“Nenekmu sepertinya kurang sehat, Ris…” ucapan ayahnya menggantung. Risma melihat wajah ayahnya mendung, tidak seperti biasanya.
“Sakit apa, Pak?” Risma mencoba menebak.
“Bapak belum tahu, ini mau ditengok. Bapak kasihan sama nenekmu. Tapi kamu tahu sendiri sudah lama Bapak menganggur, Bapak gak bisa berbuat banyak untuk menyenangkan nenekmu….” Bapak ragu-ragu melanjutkan.
Risma paham. Bapak pasti sedang butuh uang. Risma pamit sebentar ke kamar.
Di kamarnya Risma termangu. Dadanya sesak. Ya Allah, apa yang harus kukatakan pada Bapak? Uangku terakhir tadi sudah kubelikan nasi untuknya. Sementara untuk suami dan anak-anakku belum siap terhidang makan siang. Tapi Risma juga tidak mau Bapak pulang dengan kecewa.
Detik demi detik berlalu… hatinya gelisah. Dadanya berdegup kencang. Dia gugup, karena belum juga terpikirkan jalan keluar terbaik. Bapak pasti sedang menunggu dan berharap. Ingin sekali Risma ikut Bapak nengok nenek, tapi bagaimana dengan anak-anak dan suaminya? Apa kukatakan sejujurnya saja pada Bapak kalau aku tidak punya uang ya, Risma membatin.


*****  BERSAMBUNG………. (to be continued)

Comments

Popular posts from this blog

DASAR-DASAR JURNALISTIK (Materi Pelatihan)

Perahu Oleng