Perahu Oleng


“Pencarianku tak kunjung lelah.
Kemana lagi hendak aku melangkah.
Figur yang kudamba, telah lama tiada.
Kini aku mencari dan mencari.
Menghibur diri.
Bagai perahu, oleng kian kemari.
Tanpa nakhoda, hanya sepi yang mendera”

Rara sadar betul dengan kecantikan wajahnya.
Postur tubuhnya yang semampai dan kulitnya yang tergolong lebih putih dari teman sepermainan, menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi Rara termasuk aktivis di sekolah. Menjadi pengurus OSIS, menjadi Dewan Penggalang (DP)..wuiihh.. siapa yang gak bangga coba? Tak heran banyak yang suka padanya. Dimas misalnya. Walau berbeda kelas, diam-diam Dimas selalu memperhatikan Rara. Namun Rara tak acuh, nyaris tak peduli. Alasannya sederhana, Dimas kurang cakep untuknya. Wah..wah.. gawat.
Ada lagi Timor. Namanya aneh ya? Kok Timor? Mirip pulau yang sekarang dah jadi negara yang terpisah dari Indonesia. Jangan-jangan dia anak pemilik mobil Timor, yang dulu sempat jadi mobil nasional? Wow..keren. Timor berwajah keras, kulit agak legam, tapi lumayan cakep sih. Kaya lagi. Timor cinta mati sama Rara (yeee..jangan sampe mati doong..). Saking cintanya, tak segan Timor member macam-macam hadiah pada Rara. Ada coklat, buah-buahan, bunga, bahkan baju. Maukah Rara? Tidak. Alasannya sederhana juga. Timor tak aktif di organisasi. Wew!
Selain mereka, ada lagi yang lain. Asep, Andri, dan Lutfi. Ah, abg. Cinta monyet kali ya.
Justru cimonnya Rara jatuh pada Rifan, siswa SMA. Wow…seleranya boleh juga. Tapi kenapa Rifan? Anak yang pendiam dan tak banyak gaul? Misterius lagi. Karena teman-teman Rifan tuh sedikit banget. Apalagi teman-teman Rara kan masih SMP, mana kenal dengan Rifan. Selidik punya selidik, ternyata Rifan anaknya taat beragama, rajin sholat dan lumayan cerdas juga. Hmm.. good choice. Pilihan tepat, Ra. Rara dan Rifan, berbulan lamanya jalan bersama, sampai dinobatkan oleh teman-teman mereka jadi pasangan serasi. Siapa yang tak iri? Yang perempuan, cantik dan aktif. Yang laki-laki, cerdas dan sholeh. Perpaduan yang sempurna.
Rara dan Rifan.
Dua remaja yang saling mendukung. Dalam hal apapun.
Bila Rara lupa dengan pelajaran, Rifan membantunya. Bila Rifan lupa makan, Rara mengingatkan. Romantis ya. Namun, lama-lama Rara merasa jenuh juga. Jalan setahun, Rifan hampir tak pernah mau diajak jalan berdua ke suatu tempat. Ke pantai, misalnya. Atau nonton. Atau sekedar makan di rumah makan. Rifan maunya rame-rame melulu. Kan gak asyik. Kecuali kali Rifan main ke rumah Rara, barulah mereka bisa ngobrol berdua.
Sampai suatu ketika, Rara berkenalan dengan Ibra, putra teman ayah Rara. Mereka sering mengikuti acara keluarga bersama. Ibra sudah kuliah, kedewasaannya memikat hati Rara. Perhatian sekali dalam segala hal. Bisa ditebak, Rara jatuh suka padanya.
Dan putuslah Rara dengan Rifan, agar bisa bersama dengan Ibra.
Rara tak lagi aktif di sekolah. Hari-harinya di sekolah hanya untuk belajar di kelas, selebihnya dia buru-buru pulang.
“Ra, ntar sore kita latihan Paskat… kamu mimpin pasukan satu lho…” Ineu mengingatkan.
“Ahh..gw sibuk, Neu. Diganti lu aja, ya?’
“Sibuk apaan, sih lu? Kok beda banget sekarang.” Ineu protes.
“Ada deeh…”
Dan Rara pun bergegas pulang meninggalkan Ineu yang termangu sendiri. Huh..mangkir lagi dia, gerutu Ineu.
Akhirnya masa pelulusan tiba. Nilai ujian Rara lumayanlah. Rara bisa melanjutkan sekolah ke SMA. Eit…ada Rifan disana. Ya tak apalah, yang penting tak banyak berinteraksi dengan dia, pikir Rara. Tapi.. bagaimana mungkin. Malah hampir tiap hari Rifan berpapasan muka dengannya. Rifan tak menampakkan wajah rak ramah. Tetap tersenyum pada Rara, walau tak pernah menyempatkan menyapa. Hati Rara merasa bersalah. Untuk menutupi kegalauannya, Rara menghabiskan waktu dengan ikut kegiatan pecinta alam. Asyiklah… climbing, outbond, hiking… Tak puas dengan kegiatan di sekolah, Rara bergabung dengan kelompok pecinta alam yang lebih besar.
 
Sampai suatu ketika, papa Rara sakit dan meninggal.
Papa yang menjadi haluan hidup Rara selama ini.
Mama tak sanggup lagi membesarkan anak-anaknya di rantau, maka Mama memutuskan pindah ke kampong halaman bersama Rara dan adiknya.
Hati Rara sakit dan sedih. Kehilangan Papa, sekaligus kehilangan Ibra. Ternyata Ibra pun berkhianat padanya. Baru berapa bulan saja sudah ketahuan pacar Ibra banyak sekali. Mungkin Rara hanya permainan, karena dianggap masih kecil oleh Ibra. Walau sakit, Rara terima itu. Justru tatapan mata ramah Rifan yang membuat Rara merasa bersalah. Kini kehilangan Papa pula.
Bosan. Hari-harinya di kampung halaman membuatnya bosan. Tiap libur seolah Rara habiskan dengan pergi kemping dan naik gunung, membebaskan diri dari segala masalah. Menghirup udara segar, menggapai kebebasan. Bahkan hingga lulus SMA. Tak jarang Rara melihat teman-temannya yang perempuan merokok, dan bergaul bebas dengan lawan jenis. Ada godaan bagi Rara untuk mencoba, dan bergabung dengan mereka. Tapi takut. Rara tidak berani. Banyak lelaki yang mencoba mendekatinya. Namun hati Rara gamang. Dia merasa da yang salah dengan hidupnya.
Apa yang kucari? Batin Rara.
Pertemuannya dengan Yulan tak terduga. Yulan temannya semasa SMP, menyapanya di bis kota. Sedang apa Yulan di kotaku? Pikir Rara penasaran.
Dua sahabat lama bertemu, pastilah heboh bercerita panjang lebar tak ada ujungnya.
Rara senang sekali, bisa melepas kerinduan terhadap kota masa kecilnya melalui Yulan. Mata Rara tak lepas dari penampilan Yulan yang sudah berubah. Cantik dan anggun dengan jilbabnya. Gaya bicara Yulan pun tak lagi cerewet kwek..kwek..kwek.. seperti dulu. Walau tetap ramah dan suka bercanda, namun seperti dibatasi. Rara kagum dengan perubahan Yulan. Sementara dirinya? Rara memperhatikan dirinya sendiri, dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Kenapa lu Ra? Kok liatin gw kayak liat hantu? Bengong mulu..” canda Yulan.
“Lu beda, Yul.”
“Apanya yang beda? Tambah cantik kan? Hehehe…”
“Huuu..narsis lu. Hmm.. apa ya? Lebih tepatnya lu jadi kalem.”
“Lha..emang lu masih suka jingkrak-jingkrak ya Ra?” Yulan meledeknya.
“Kadang-kadang sih..hehe..”
“Ra, hidup kita mungkin tak kan lama.”
“Ah, siapa bilang? Harapan hidup kita kan dah tinggi sekarang. Bisa lewat 70 tahun lho..” Rara menyanggah.
“Wallahu’alam Ra. Malaikat maut tak pernah kita tahu kapan akan datang. Iya kan? Kalau kita gak punya persiapan dari sekarang, kita akan menyesal di akhirat, Ra. Dan penyesalan tanpa guna.”
“Hmmm…”Rara kehabisan kata.
“Lu melanglang buana naik turun gunung, masuk hutan cuma untuk apa coba?”
“Hobby, Yul. Gw merasa bebas di alam bebas.”
“Siapa yang nyiptain itu semua, Ra? Tidakkah kita mensyukurinya?”
“Iya ya..”
“Dekat dengan alam bisa mendekatkan kita pada Sang Pencipta kan, Ra/ Maka hati kita pun akan damai.”
“Gw pengen seperti lu Yul.. gw jenuh dengan dunia hura-hura gw. Kadang saling sikut dan saling sikat, pergaulan yang begitu bebas tanpa tahu malu. Gw takut gak bisa nahan godaan, Yul”
Yulan tersenyum.
“You’re welcome, dear. Makanya kita harus punya benteng pertahanan yang kuat dalam diri kita sendiri. Insya Allah, lu pasti bisa lebih baik dari gw.”
“Tapi, gimana caranya, Yul? Gw malu… ngerasa dah tua, dah telat kali ya?”
“Huss…! Tak ada kata terlambat, selama kita masih punya nafas. Lu bisa ikut gw ngaji. Maksud gw, ikut kajian Al-Qur’an.”
Tuhanku
aku hilang bentuk
kembara di negeri asing
Tuhanku
pintu Mu ku ketuk 
aku tak bisa berpaling.
(Doa, Chairil Anwar)

********** IR – Los, 23 Nov 2010.


Comments

Popular posts from this blog

DASAR-DASAR JURNALISTIK (Materi Pelatihan)