Baju Bekas


Siang menjelang sore. Mendung terus menyelimuti sepanjang hari.
Hampir tiap hari di desa ini hujan memang. Sepanjang jalan Maribaya basah. Sepi. Hanya sesekali angkutan kuning ke arah objek wisata Maribaya lewat, diselingi dengan mobil pribadi, ojek sepeda motor dan andong.
“Sudah, mbak?” tanyaku pada Mbak Win. Kulihat dia masih memasukkan baju-baju terakhir.
“Sudah. Yuk, keburu sore!”
Mbak Win membagi satu kresek besar berisi baju-baju bekas ke tanganku. Di tangannya, dia sendiri menenteng satu kantong plastik besar yang lain. Sejak semalam kami menyortir isi lemari kami yang sudah penuh sesak. Banyak sekali baju-baju yang sudah tidak terpakai. Apakah itu kesempitan atau memang sudah tidak nyaman lagi kami pakai. Hasilnya?? Taaraaaa…..!! Dua kantong plastic besar di tangan kami! Itupun setelah kami sisihkan baju-baju yang sudah tidak layak pakai untuk kain lap.
“Kemana nih, Mbak?” muncul lagi pertanyaan ini.
Sejak 2 hari lalu kami ribut memperdebatkan, akan dimanfaatkan bagaimana baju-baju bekas ini? Akan kemana kami akan membawa kantong-kantong ini? Dibawa pulang kampung? Malas. Terlalu jauh dan terlalu berat. Dibawa ke kampus? Belum ada event baksos atau semacamnya. Sekitar komplek Sespimpol kami lihat ada sebuah yayasan panti asuhan, tapi kami belum tahu letak tepatnya. Hanya plang nama saja yang kami baca dari kejauhan.
“Kemana ya…..?” Mbak Win bimbang. “Sudah, kita coba ke Sukamaju dulu…”
Komplek yang kami tinggali terbelah oleh sebuah jalan menjadi dua unit, unit Barat dan unit Timur. Unit Barat berada di luar pagar komplek, sedangkan komplek Timur berada di dalam gerbang. Siapapun yang melewati gerbang, seperti halnya komplek militer lain, tamu diharuskan melapor bahkan diminta untuk menyimpan kartu identitas di pos penjagaan. Hal seperti inilah yang menyebabkan teman-teman kami agak malas berkunjung sejak kami pindah rumah dari unit Barat ke unit Timur, mengikuti kepindahan Om yang menjadi wali kami disini. Untuk mengakalinya, aku kasih saran agak ‘nakal’ pada teman-teman yang akan main.
“Sudah… kalian bersikap pura-pura seperti penghuni komplek saja! Jalan lurus… jangan tengak-tengok, gak usah pake nanya-nanya deh…! ntar juga penjaga posnya males nanya-nanya kalian….” Jitu! Sejak saat itu teman kuliahku banyak yang dating. Asyik kan? Dari komplek kami bisa menjelajah ke Maribaya, jalan kaki ke Punclut, atau ke Gunung Pasirnini di Cibodas. Wisata alam yang luar biasa menyenangkan, murah, meriah, dan sangat terjangkau karena tidak terlalu jauh dari rumah. Bisa setiap minggu dilakukan sepulang tutorial.
Ups! Jadi melantur ya….
“Hayuuu… percepat jalannya!” Mbak Win membuyarkan lamunanku.
Kami bergegas menyusuri jalan yang membelah komplek. Jalan ini menuju ke sebuah desa yang asri, desa Sukamaju. Biasanya penduduk Lembang menggunakan andong atau ojek motor untuk mencapai desa ini.
Kami melihat-lihat, mencari-cari sepanjang jalan. Mata kami jeli memperhatikan kalau-kalau ada rumah yang kondisinya memprihatinkan. Tapi kok…sulit juga yaaa… Hmmmm.. sepertinya rakyat desa ini makmur-makmur deh. Alhamdulillah, satu fenomena yang melegakan. Rumah-rumah tertata rapi, dengan halaman asri, rimbun dengan bunga-bungaan atau sayuran. Dari rumah mewah sampai rumah sederhana berdinding papan, semuanya terlihat resik. Ditambah dengan hawa sejuk dataran tinggi yang sangat fresh. Perpaduan sebuah pemukiman yang membuat betah, sekaligus membuat malas untuk bepergian.
“Mendung lagi, Mbak” aku menoleh ke langit. Sudah hampir Ashar, kami belum juga menemukan sasaran. Langit gelap. Matahari hanya bersinar 2-3 jam saja setiap hari. Pelit sekali ya? Membuat pakaian kami susah kering, hehe…. Kok kesannya jadi gak bersyukur ya?
“Hm, susah juga ya. Itu kali tuh, Mi…!” Mbak Win menunjuk sebuah rumah, agak terpencil. Kecil, kurang terawatt, berdinding papan, dan nampak sepi.
“Yuk kita coba, Mbak…” kutarik tangan Mbak Win dengan semangat.
“Assalamualaikuuum…!” teriak kami serempak. Hening. Tidak ada jawaban.
“Assalamualaikum…!” kali ini kami lebih keras.
Menunggu beberapa saat.
Lalu terdengar derit pintu pelan-pelan. Dari balik daun pintu yang sudah kusam tersembul sesosok ibu menggendong bayi. Di belakangnya 2 orang gadis kecil beda usia mengintip malu-malu di balik punggung ibunya. Hm, ibu ini punya anak 3, pikirku. Mataku segera reflek mengukur dan menakar penampilan mereka. Pakaian si ibu sederhana, bahkan agak lusuh. Baju-baju anaknya pun keliatan sudah kusam, bahkan anak kedua memakai kaos yang sudah berlubang. Mudah-mudahan ya Allah…
“Walaikumsalam…. Eh… saha? Aya naon, Neng?” tegurnya, bingung.
“Punten Teh.. Kaget ya? Boleh mengganggu sebentar?” Kami bertanya sambil tersenyum seramah mungkin. Duh..jangan-jangan kami dikira sales lagi. Masa sih? Gak ah! Rasanya penampilan kami gak seperti sales. Hihihi… kami geli sendiri.
“Enya aya naon? Eneng-eneng ti mana?” Waduh! Si Teteh keukeuh pake bahasa Sunda. Jangan-jangan dia gak bisa bahasa Indonesia nih. Repooot… Tapi, ah. Dia masih muda kok. Gak terlalu jauh beda usianya dari kami.
“Kami dari Sespim, Teh. Punten dengan Teteh siapa, ya?”
“Iceu. Peryogi naon?”
“Ieu Teh Iceu … “ lalu mengalirlah maksud kami untuk menyumbangkan pakaian bekas yang kami anggap masih sangat layak untuk dipakai. Tak lupa kami memohon maaf sebelumnya, khawatir The Iceu tersinggung dengan maksud kami.
Teh Iceu mengangguk-angguk takzim mendengarkan penjelasan kami. Yes! Kami bersorak dalam hati. Kami berbakat juga nih jadi petugas marketing. Buktinya Teh Iceu bisa kami beri pengaruhi.
“Gimana, Teh?” aku harap-harap cemas. Lho kok maksa?
“Mau ya, Teh? Ini baju-bajunya. Bisa Teteh sortir lagi. Boleh dipake boleh juga buat lap atau apalah, Teh. Kumaha?” Mbak Win bersemangat meyakinkan. Lho kok maksa?
“Hmmm… Kumaha atuh nya…” Teh Iceu terdiam, agak lama. Kedua putrinya agak acuh tak acuh memperhatikan obrolan kami. Sekejap kemudian si sulung pamit bermain pada ibunya. Bayi dalam gendongan sang ibu tertidur pulas.
“Ini Teh… diterima ya?”
Kami menunggu jawaban.
Semenit. Lima menit. Sepuluh menit. Duuuh… lama bener. Tapi kami tetap menunggu dengan sabar.
Tiba-tiba si Teteh menggeleng.
“Gimana, Teh?” aku mencoba meyakinkan penglihatanku.
Teh Iceu kembali menggeleng. Kali ini lebih keras dan pasti.
“Teteh mau terima baju ini?”
Menggeleng.
“Teteh gak mau terima?”
Menggeleng lagi.
Oh my! Teh Iceu menolak. Ya sudah. Itu kan hak dia ya. Aku dan Mbak Win berpamitan dengan hati agak malu. Teh Iceu melepas kami dengan pandangannya, tanpa kata.
“Gimana nih, Mbak?” tanyaku bingung.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Kita coba lagi…” Mbak Win gak putus asa rupanya.
Kami berjalan lagi menyusuri tanah-tanah basah, menyeret langkah, membawa beban. Sesekali menghirup segarnya udara pegunungan sore hari.
Akhirnya kami menemukan beberapa rumah kecil sederhana, yang penghuninya dalam takaran kami bisa dikatagorikan miskin. Tapia pa, kawan? Subhanallah. Menakjubkan. Luar biasa. Semua yang kami tawari menggeleng. Ya, menggeleng tanpa penjelasan. Padahal niat kami baik kok. Jangan-jangan kami malah dicurigai membawa misi tertentu lagi. Ah… masa sih?? Rasanya kami lebih rela dicurigai sebagai sales daripada dicurigai sebagai teroris deh.
                Matahari semakin kelam, bersembunyi malu di balik awan tebal yang mungkin sebentar lagi luruh. Di kejauhan suara adzan Ashar bergema. Kupandang wajah Mbak Win, meminta keputusannya.
                “Kita ke panti” jawabnya pendek.
                Kami beranjak ke arah mulut jalan desa menuju jalan Maribaya. Cukup jauh kami berputar-putar tadi, namun tidak berasa lelah. Terpikir, kenapa kami tidak menyerahkan gombal-gombal ini ke pak RT saja ya? Pasti lebih mudah. Tapi… ah, tidak! Kami malu. Tidak seberapa. Merasa kurang layak juga.
                Sepanjang jalan menuju panti, kami berpapasan dengan beberapa remaja putri yang sedang bermain. Kami berusaha menawarkan pada mereka… dengan rayuan, bujukan, meyakinkan. Kami kira begitu. “Gratis lho, dek…” begitu kami berpromosi. Hasilnya? Nihil. Mereka semua menolak. Tetap dengan gelengan kepala, tanpa kata. Oooo…..
                Ya sudahlah. Kami menyerah. Kami bergegas ke panti. Jaraknya sekita 1 km, paling juga hanya 15 menit kami berjalan kaki. Tetap saja kami harus cepat-cepat melihat cuaca yang semakin tidak bersahabat. Apalagi kami belum sholat Ashar.
                Akhirnya sampai juga depan papan nama panti. “Al-Kautsar” begitu tertera di plangnya dengan megah. Tapi… mana pintunya ya…? Mana penghuni pantinya? Kami celingukan. Setelah mencari-cari di beberapa bangunan di sekitar situ, akhirnya kami mengetuk 1 pintu yang kami yakini itulah kantor pengurus yayasannya.
                Seorang lelaki muda menyambut kami. Usianya berkisar 25 tahun, tak jauh beda dengan kami. Dia mempersilakan kami masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa. Suasana senyap. Kami agak gamang. Panti kok sepi? Kemana yang lain? Kemana anak-anak asuhnya? Beragam pertanyaan muncul.
                Dengan singkat dan terburu, karena suasana yang tidak kondusif, kami menjelaskan maksud kami. Pengurus panti menyatakan tidak keberatan. Dia menjelaskan bahwa kantor ini hanya perwakilan, pantinya sendiri tersebar di beberapa tempat di Bandung. Oh, pantas saja kalo gitu.
                “Ya sudah Kang… Kalo gitu kami titip ini saja, ya? Punten… bukan apa-apa. Semoga bermanfaat” Dengan rasa malu kami menyerahkan 2 kantong besar berisi pakaian bekas yang sejak tadi berat-berat kami bawa.
                “O ya nggak apa-apa, Teh. Simpan aja di situ” jawab si akang.
                “Ini kang?” aku angsurkan kedua kantong.
                “Ya! Taruh disitu aja… Tuh…sebelah sana…” telunjuknya menunjuk sudut ruangan.
                Kuletakkan tergesa di pojok, dan segera pamit. Kami bahkan tidak berani lagi memikirkan akan diapakan isi kantong-kantong itu. Wallahu’alam.
                Sepanjang jalan pulang aku dan Mbak Win terdiam. Merenungkan kejadian sore ini.
                Ya Robb… Kami tidak bisa menahan malu. Pelajaran berharga yang kami petik hari ini adalah kami tidak bisa menilai dan mengukur seseorang secara kasat mata. Apalagi sekilas. Apa atau siapa yang kami anggap kurang, belum tentu dia merasa kekurangan. Mungkin ia nyaman-nyaman saja dengan hidupnya, tidak membutuhkan apa-apa lagi selain yang dimilikinya. Tidak membutuhkan uluran tangan pula. Kami berfikir, pastilah masyarakat Sukamaju kesulitan mencari mustahiq saat membagikan zakat, karena masyarakatnya sudah maju dan makmur, tidak sekedar materi tapi mungkin jiwanya yang sejahtera. Mudah-mudahan begitu. Wujud nyata hamba yang banyak bersyukur ya?!
                Sempet terfikir juga, apa karena faktor gengsi?? Upss! Astaghfirullah. Bagaimanapun kami harus tetap berfikir positif.
                “Mbak….. lain kali hati-hati……” aku mengerling kea rah Mbak Win.
                “Iya Mi…. lain kali bawa saja ke kampung,” balas Mbak Win. Tersenyum.
                Aiih…. kapan ada lain kali…?? Wong kami bongkar-bongkar lemari juga belum tentu 5 tahun sekali...........................

*Im, 16 Mei 2010

Comments

Popular posts from this blog

DASAR-DASAR JURNALISTIK (Materi Pelatihan)

Perahu Oleng